No War But The Class War

Rabu, 09 April 2008

Akhir-akhir ini saya keranjingan kembali untuk bermain game. Laptop kawan yang sering ngangur di pondokannya menjadi ajang untuk menyalurkan hobi yang sempat terhenti itu. Hobi tersebut kembali bangkit secara tak sengaja akibat melihat file game kawan yang tertera tulisan “Stronghold Crusader”. Itu merupakan salah satu game yang sering saya mainkan waktu SMA dulu. Ber-genre Perang Salib yakni peperangan antara Laskar Salahuddin Al-Ayyubi melawan Bala Tentara Richard I. Dalam literatur-literatur sejarah perang salib di gambarkan sebagai perang antar dua agama besar yakni Islam melawan Kristen, umat Muslim berhadapan dengan kaum Nasrani.

Terlepas dari latarbelakangnya meletusnya gelombang pertikaian bersenjata antara Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks timur dengan Dinasti Seljuk yang beragama Islam. Saya ingin melihat seluruh asal muasal peperangan dan pertikaian yang terjadi di dunia ini dari zaman kuno hingga zaman modern ini dari pendeksripsian setting-an game ‘Stronghold Crusader’.

Inti dari permainan di dalam ‘Stronghold Crusader’ yakni pengaturan strategi terbaik dalam perang untuk mengekspansi suatu daerah tertentu. Suatu kerajaan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk defense atau offense dari musuh. Dalam game tersebut digambarkan bahwa untuk membiayai perang yang terjadi masyarakat harus bekerja di pertanian dan pertambangan. Pembayaran pajak dari masyarakat juga menjadi pos pembiayaan perang. Pembangunan Inn-Inn yang menjadi tempat refresing masyarakat dijadikan pos pembiayaan perang. Untuk meningkatkan tempat penyiksaan bagi Labor(tenaga kerja) yang tidak produktif. Dan cara tersebut memampu meningkatkan produktifitas dari Labor untuk membiayai perang. Pembangunan pabrik makanan dan senjata merupakan salah satu sumber pendapatan perang juga sebagai pengefisienan ‘cost war’. Karena tidak perlu lagi membeli makanan dan persenjataan yang harganya sangat mahal, cukup dengan mengelola hasil pertaniaan dan pertambangan. Tujuan dari perang di game tersebut hanya untuk menghancur pihak musuh agar dapat menguasai factor produksi paling vital yang dimilikinya yakni Land(tanah).

Dari pengambaran di atas jika disinkronkan dengan sejarah peperangan dan pertikaian yang terjadi di muka bumi ini semua bermotifkan perebutan tanah. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perang yang terjadi seperti ‘Perang Troy’. Walaupun ‘Perang Troy’ dilatarbelakangi oleh Paris, pangeran dari Troya, yang menculik Helen dari suaminya Menelaus, Raja Sparta. Tapi itu hanya pemantik dari terjadinya perang karena Sebelumnya Sparta memang mau menginfasi Troya untuk memperluas Tanah jajahan.

Begitupun dengan ‘Perang Salib’ yang menjadi latar dari game ‘Strong Crusader’ juga berlandaskan perebutan tanah, tapi dibingkai dalam perang agama. Sejarah yang mencatat ‘Perang Salib(1095-1291)’ sebagai perang terlama seakan melupakan bahwa tujuan dari perang itu untuk memperebutkan Baitul Maqdis, tanah suci agama-agama Samawi.

Kalau melihat perang modern hari ini makin membuktikan jika perang-perang yang terjadi adalah perebutan factor produksi berupa tanah. Lihat saja bagaimana pengekspansian yang dilakukan oleh Amerika terhadap Afghanistan yang berkedok pencarian teroris nomor wahid Osama bin Laden ternyata upaya untuk mengeksploitasi mineral-mineral yang terkandung dalam perut tanah Afganistan.

Penyerangan AS terhadap Irak juga bermotifkan penguasaan tanah-tanah di Irak yang mengandung cadangan Minyak terbesar kedua. Hal itu makin dibenarkan setelah senjata pemusnah massal yang menjadi alasan penyerangan Irak tidak dapat dibuktikan dimilki oleh rezim Saddam Husein.

Dari beberapa fakta yang terjadi bahwa selama ini yang propaganda yang dilakukan oleh para Aktifis Anti-War dengan slogan “No War But The Class War” makin menjadi kenyataan. Melihat bahwa perebutan factor-faktor produksi yang terjadi antara kelas yang bertentangan yakni kelas Penguasa dan kelas tertindas, kelas borjuis dan kelas proletar, kelas pemilik modal dan kelas pekerja menghasilkan gesekan besar yang bernama perang.

Ternyata paham klasik yang dianut oleh kaum borjuis yang mengatakan kegiatan produksi besar-besar yang dilakukan dengan dalih produktifitas karena kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Telah dibantah oleh Mahatma Gandhi dengan mengatakan “Bumi ini dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia tapi tidak dapat memenuhi keserakahan segelintir manusia”. Dari itu sudah saatnya Semboyan ‘Anti Kapitalisme’ yang berada dibalik perang modern hari ini harus dipropagandakan.