ORGANISATORIS OPORTUNIS

Selasa, 04 Desember 2007

Tulisan ini berangkat dari realita lembaga kemahasiswaan saat ini. Baik itu lembaga eksternal maupun internal. Bahwa saat ini lembaga sudah melenceng dari frame yang ada. Lembaga sekarang ini dihuni oleh opurtunis yang mengunakan lembaga unuk kepentingan pribadi. Apa itu oportunis? Pertanyaan itu pasti muncul dibenak anda. Kalau soe Hok Gie mengatakan ada dunia pilihan menjadi manusia di Indonesia yakni idealis dan apatis. Tetapi tidak sempat menyebutkan atau sudah memasukkan tipe oportunis ke dalam apatis atau idealis. Karena oportunis juga menjadi salah tipe manusia Indonesia, bahkan tipe ini yang paling banyak. Oprtunis merupakan tipe yang mengambil kesempatan yang paling menguntungkan dirinya. Kembali ke lembaga yang kehilangan nilai historisnya. Lembaga yang secara historis sebagai tempat berjuang sudah jauh ditinggalkan. Berganti menjadi lembaga sebagi tempat kita memperbanyak jaringan untuk masa depan (kehidupan pasca kampus).

Hal tersebut dapat dilihat pada selembar kertas yang katanya adalah “Falsafah Berlembaga”. Dalam salah satu poinnya bertuliskan “Di lembaga kemahasiswaan tempat kita untuk memperbanyak kawan/jaringan untuk masa depan(kehidupan pasca kampus) bukan tempat memperbanyak musuh/lawan”. Sepakat bahwa lembaga tempat untuk memperbanyak kawan dan bukan memperbanyak musuh. Tetapi untuk memperbanyak jaringan untuk masa depan (kehidupan pasca kampus) ini yang menimbulkan penafsiran ganda (ambiguitas). Kalau penafsiran saya terhadap poin tersebut dari melihat realita yang ada. Lembaga dijadikan salah satu dijadikan ladang untuk mendapatkan kepentingan pribadi. Entah penafsiran yang dilakukan sang pembuat “Falsafah Berlembaga” itu beda. Mirip dengan perluasan jaringan yang dilakukan oleh MLM dan MNC. Untuk menjelaskan MLM dan MNC mungkin tidak terlalu penting karena mahasiswa ekonomi pasti lebih tahu hal ini. Melihat fakta yang ada di ekonomi sudah banyak mahasiswa yang menjadi gurita MLM. Dan makin banyak yang mempersiapkan diri menjadi kaki tangan MNC.

Hal yang terus-menerus menjadi alasan klasik sang oportunis adalah tuntutan Orang tua. Sehingga fungsi meraka sebagai mahasiswa terkikis oleh tugas anak yang harus berbakti pada ortu. Mungkin itu yang sekarang dihadapi oleh para ketua lembaga, pengurus terasnya, hingga para pengurus cunddekeng untuk berorganisasi. Hal ini bisa saja benar melihat lembaga yang sudah tidak punya gaung, karena hanya dijadikan arena perluasan jaringan oleh para organisatoris oportunis. Kalau hal memang benar terjadi, saya ingin kembali membuka memori sang oportunis tentang sebuah film kolosal “Naga Bonar 1”. Dimana dalam sebuah adegan Naga Bonar harus mengendong sang Ibu di tengah peperangan yang berkecamuk. Naga bonar telah membuktikan bahwa tugasnya kepada Negara dapat dilaksanakan tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang anak. Seharusnya para pengurus maupun mahsiswa lainnya menjadikan Naga bonar sebagai contoh. Agar doktrin-doktrin fungsi mahasiswa pada pengkaderan awal tidak hanya pada tataran retorika tapi sudah dipraksiskan.

Lembaga kemahasiswaan yang diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran kritis. Kini sudah termakan bujukan kapitalisme. Senasib dengan sekolah-sekolah formal yang hanya menciptakan robot-robot kapitalisme. Lembaga yang dahulu merupakan alternatif untuk menjungkir balikan logika kapitalisme. Sekarang malah menjadi salah satu pabrik kapitalisme untuk menciptakan labor yang potensial. Kalau Gramsci menyebutnya Intelektual Mekanik. Sehingga lembaga dan orang-orang di dalamnya menjadi menara gading. Semakin enggan melihat ke bawah (hilang jiwa sosial).

Pada kongres Senat Mahassiswa Ekonomi beberapa waktu yang lalu. Ada sebuah wacana yang sangat radikal. Salah satu kawan merekomendasikan untuk membubarkan lembaga kemahasiswaan. Sejalan dengan kebijakan yang pernah diambil oleh Gus Dur saat masih menjadi presiden untuk membubarkan Parlemen(MPR/DPR). Bagi sebagian besar orang itu hal yang gila dan mengada-ada. Tetapi Gus dur dan kawan yang menginginkan pembubaran lembaga mungkin punya dasar yang kuat. Kita lihat sekarang bagaimana MPR/DPR dipenuhi oleh tikus-tikus yang terus mengerogoti uang rakyat. Begitu juga dengan lembaga kemahasiswaan yang di huni oleh para “oportunis” yang sebentar lagi akan bermetamorfosis menjadi “Borjuis imut-imut”.

Tulisan tidak bermaksud menyudutkan siapa-siapa. Ini hanya pendekskripsian subjektifitas penulis melihat keadaan lembaga hari ini. Kalau anda merasa tersinggung atau dizhalimi oleh tulisan ini. Jangan merobek kertasnya tetapi robek tulisan ini dengan wacana tandingan. Anda dapat membuat antitesa dari tesa ini, sehingga akan lahir sebuah sintesa. Mungkin ini hanya sebuah proses dialektika. Read more!

ANAK-ANAK IBU PERTIWI

Hari ini kembali saya dipecundangi oleh matahari. Sang surya lebih dulu menyapa saya. Ada kesenangan tersendiri jika dapat menyapa sang mentari terlebih dahulu. Langsung saja saya beres-beres untuk segera ke kampus. Walaupun hari ini adalah hari libur. Tetapi ada janjian dengan kawan untuk membahas tentang penerbitan kampus.

Seperti biasa saya langsung menuju ke jalan yang dilalui oleh pete-pete kampus. Di atas pete-pete telah ada 2 orang anak yang didampingi oleh ibunya masing-masing. Sungguh riang kedua anak tersebut. Kira-kira usia kedua anak tersebut sekitar 5 tahunan.

Saat pete-pete jalan kembali. Salah seorang dari anak itu berujar kepada ibunya bahwa lebih enak naik taksi. Anak berambut ikal tersebut mengatakan di sini (pete-pete) sangat panas. “ Nanti saja, pulang dari kantor mama baru kita naik taksi”, balas ibu dari anak yang berambut ikal tersebut.

Sepertinya anak yang berambut lurus terurai kayak tidak mau kalah. Dengan sedikit meregek kepada ibunya. Dia mengatakan ingin ke mall setelah kembali kantor ibunya.”Baiklah tetapi kita ajak juga Bella”, timpal ibu anak yang berambut lurus sambil melirik ke anak yang berambut ikal.

Dengan semangat kedua anak mengatakan apa yang ingin dilakukan di mall. Ada yang ingin bermain salju. Ingin makan di McD (Mcdonald). Bahkan salah satu dari mereka mengucapkan ingin ke Score. Sungguh miris rasanya mendengar seorang anak yang barangkali belum menginjak bangku sekolah sudah ingin ke tempat hiburan malam. Tambah miris lagi hati ini saat melihat ibu dari anak tersebut hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya. Melihat tingkah laku kedua anak tersebut saya langsung teringat dengan sang keponakan. Seminggu yang lalu saat kakakku nginap di rumah. Kebetulan kakakku tinggal di rumah mertuanya. Saat itu kedua orangtuanya ingin membawanya jalan-jalan ke mall. “Ini debut pertama Salsa ke mall”, ujar bapak sang keponakan, yang juga kakak kandung saya. Dengan ceplos saya menimpali bahwa jangan sering-sering bawa anak ke mall. Bisa-bisa nanti kalau besar hanya akan jadi SPG di mall. Bukan bermaksud merendahkan tapi pekerjaan tersebut. Tapi hanya untuk menakuti-nakuti sang kakak. Maklum umur sang keponakan belum genap setahun.

Kalau mendengar kata mall saya langsung teringat ucapan beberapa senior di kampus. Salah seorang senior pernah berkata mall sekarang telah menjadi pusat gravitasi bumi. Pertama-tama saya tidak mengerti dengan ucapan sang senior. Tetapi setelah melihat bahwa manusia-manusia saat ini hanya dapat dikumpul pada suatu titik yang bernama mall.

Bahkan salah seorang senior pernah mengucapkan kepada saya. Bila kita mengelilingi mall sebanyak tujuh kali. Maka kita sudah bisa menyandang gelar “Haji mall’. Benar-benar kata-kata yang sangat ekstreme yang meluncur dari bibir seorang mahasiswa. Dia mengibaratkan bahwa mengelilingi mall itu sama dengan ritual Tawaf. Yaitu salah satu bagian dari rukun Islam yang kelima. Bahwa syarat untuk seorang muslim mendapat gelar haji jika melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali.

Karena sangat asyik mengkhayal. Saya tidak mengetahui saat seorang bocah berdiri tepat di samping pete-pete. Bocah tersebut kira-kira seusia dengan anak-anak yang berada di pete-pete. “Murah…murah…Cuma seribu”,teriak bocah tersebut sambil mengangkat-angkat koran terbitan nasional. Lalu sopir pete-pete memberikan selembar uang seribu kepada sang bocah. Dan bocah tersebut menyodorkan koran yang tadi dia angkat-angkat.

Saat melihat bocah penjual Koran itu kembali saya mengkhayal. Sungguh kontras keadaan negeri ini. Dimana beberapa anak dapat bermain dan berbelanja di mall. Seperti anak-anak yang ada di pete-pete dan sang keponakan saya. Walaupun mereka tidak sadar, orangtuanya telah menanamkan budaya konsumeristik. Di lain sisi ada seorang bocah yang rela mempertaruhkan nyawa. Berseliweran di antara kendaraan-kendaraan yang sewaktu-waktu siap menyerempet. Menjajakan koran, demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidupnya.

Teringat dengan lirik lagu Iwan Fals. Saya ingin berteriak kepada seluruh anak-anak ibu pertiwi. Bangunlah untuk meninju congkaknya dunia. Bangkitlah untuk menghantam sombongnya dunia ini. Ingat kalian adalah harapan ibu pertiwi. Pemilik sah masa depan bangsa.

Read more!

Matinya Roh Kelembagaan

(Tangggapan Atas Perang Wacana “Preman Musiman” dan “Malaikat Kesiangan”)

Lama nian ku tak melihat perdebatan wacana di Ekonomi. Sebuah Tesa yang ditulis oleh “Malaikat Kesiangan”(Versi Preman Musiman) dibalas sebuah Antitesa oleh “Preman Musiman”(tuduhan Malaikat Kesiangan). Perang wacana menurut penulis adalah suatu keharusan yang terjadi di Kampus. Walaupun oleh seorang mahasiswa menyebutnya sebagai sebuah “provokasi”. Tapi penulis merasa bahwa itu sebagai sebuah budaya ilmiah di kampus. Asal tidak ditanggapi dengan “Esmosi”(kok seperti istilah disalah satu acara TV…maksudnya Emosi).
Persilahkan penulis untuk menjadi “provokator” dalam perdebatan wacana yang mulai muncul di Ekonomi. Hingga suatu hari nanti akan lahir sebuah Sintesa, karena penulis berharap semua mahasiswa ekonomi ikut dalam perang wacana ini. Sehingga budaya liteter yang sempat menjadi angan-angan dari seorang kawan dalam Visi dan Misi-nya saat pemilihan Ketua Himpunan dapat terwujud (tidak usah susah-susah buat Sekolah Menulis, langsung saja Aplikasikan di Mading).

Preman musiman memang meresahkan. Ibarat para Pertapa(bukan “Pertapa Genit”, sebutan Naruto kepada Gurunya>Jirayya), selama ini tak menampakkan batang hidungnya n turun gunung saat musim jamur tiba serta melahap semuanya. Maba, Panitia, bahkan Pengurus lembaga menjadi lahan aktualisasi mereka. Cacian, makian, tendangan serta pukulan adalah metode yang mereka gunakan.

Menyalahkan meraka akibat mandegnya pengkaderan selama ini a/ sebuah kesalahan tapi penulis tidak ingin menyebutnya sebagai kesalahan berpikir(mengutip dari Rekayasa Sosial). Sama seperti koment seorang kawan yang mengatakan bahwa kemalasan mahasiswa berlembaga akibat menjamurnya Mall, sehingga orang lebih senang ke Mall daripada mampir di lembaga.

Mungkin yang kawan maksud itu tidak salah, tapi kalau sampai mengatakan itu adalah penyebab utama(Mall) dan para Preman Musiman yang harus bertanggung jawab, secara pribadi tidak sepakat karena yang menjadi Penyebab utama mandegnya pengkaderan dan harus bertanggung jawab adalah Lembaga kemahasiswaan itu sendiri.

Hari ini apa yang telah dilakukan lembaga terhadap KeMa. Bahkan hari ini lembaga sudah kehilangan Barganingnya sehingga satu per satu otoritasnya dipreteli. apa coba yang di dapat saat mengikuti pengkaderan? Embel-embel keluarga mahasiswa.. Aduh sungguh memalukan, kalau ternyata hanya itu yang didapat, saya bersedia menanggalkan embel-embel tersebut kalau
itu masih melekat sama saya.

“jika mahasiswa tidak menuntut haknya,,biarlah meraka ditindas sampai mati oleh dosen korup"(Gie)

Salah satu untuk mengatasi kemandekan pengkaderan dengan menuntut kembali otoritas dari lembaga yang telah di rampas oleh birokrat...Biarkanlah mereka mengambilalih PMB dengan kebijakan 1 bulan setelah baru membolehkan lembaga untuk mengadakan pengkaderan...

tapi kawan harus menuntut kepada mereka(birokrat busuk) 1 sks dalam kurikulum, ini sebagai posisi tawar lembaga kepada maba...walaupun terasa sangat pragmatis tapi itu lebih baik daripada menjanjikan maba dekat dengan pengusaha n penguasa(aduh sungguh memalukan)...

Hal ini sudah sangat perlu dilakukan supaya lembaga tidak lagi kelimpungan saat PMB...Setelah itu lembaga harus memperbaki sistem pengkaderan dengan menutup or minimalisir ruang gerak dari oknum dan para oportunis yang menjadikan lembaga sebagai ruang aktualisasi...

menciptakan kader yang radikal adalah harga mati dari lembaga kemahasiswaan...karena lembaga kemahasiswaan adalah benteng terakhir rasionalitas untuk menghadapi kepungan kapitalis...harapan ada di tangan lembaga setelah tembok Universitas telah diruntuhkan oleh kapitalis...selamat berjuang kawan,,karena hanya yang berdarah yang berhak bicara...revolu$i

Preman Musiman yang merasa bahwa lembaga tidak memberi mereka ruang untuk bergerak menjadikan alasan untuk melakukan tindakan brutal. Penulis merasa hal itu tidaklah logis dan mengada-gada. Karena selama ini para Preman musiman tetap menjadi Pengurus lembaga, bahkan masih diberi ruang untuk tampil dengan membawakan materi. Atau kalian ingin tampuk tertinggi dalam Lembaga Kemahasiswaan Ekonomi(hehe…Sungguh tinggi cita-citamu).

Satu lagi kepada para Preman Musiman yang merasa bahwa Pengkaderan hanya milik para orang Cerdas. Penulis hanya mau bilang “Ya, iyalah”. Ini kampus loh, jadi budaya-budaya ilmiah harus terus dilakukan. Kalian pasti tau bahwa ini bukan Parkiran or pasar yang bisa dijadikan pangkalan jatah, bahkan kampus bukan Café dan Bar yang mempunyai legalisasi untuk menjadi tempat kalian minum-minum(eeeh…liat Ka eeh.. Mabok ka). Kita bersama-sama pasti mengetahui Falsafah Pelangi. Bahwa Pluralisme adalah sebuah kemutlakan. Tapi kita juga harus paham keindahan pelangi karena perbedaannya tidak keluar dari koridor yang telah ada.

Kepada seluruh pembaca, penulis ingin mencerikan sebuah kisah. “Dahulu kala ada sebuah tempat yang bernama Tanah Merah. Dimana preman sering juga meneriakkan penolakkan terhadap penindasan terhadap rakyat. Para preman juga seiring baca buku. Mereka masih sering kajian. Saat kawan-kawannya turun ke jalan dan terpaksa harus berhadapan dengan tindakan progresif aparat, mereka berdiri di barisan terdepan untuk membobol blokade aparat”.

Semoga perang Wacana akan terus berlanjut. Walau penulis akan menjadi musuh bersama dari Preman Musiman dan malaikat kesiangan. Ingat ini kampus jadi jari-jemari yang telah mengepal tidak dapat dijadikan senjata. Tapi yang menjadi senjata adalah jari-jemari yang mengoreskan tinta pena.

Hormat Penulis kepada orang telah melakukan perang wacana di Ekonomi. Penulis banyak belajar dari kalian.

Rumah Kenanganku, sehari pasca genderang perang wacana telah ditabu Read more!