Matinya Roh Kelembagaan

Selasa, 04 Desember 2007

(Tangggapan Atas Perang Wacana “Preman Musiman” dan “Malaikat Kesiangan”)

Lama nian ku tak melihat perdebatan wacana di Ekonomi. Sebuah Tesa yang ditulis oleh “Malaikat Kesiangan”(Versi Preman Musiman) dibalas sebuah Antitesa oleh “Preman Musiman”(tuduhan Malaikat Kesiangan). Perang wacana menurut penulis adalah suatu keharusan yang terjadi di Kampus. Walaupun oleh seorang mahasiswa menyebutnya sebagai sebuah “provokasi”. Tapi penulis merasa bahwa itu sebagai sebuah budaya ilmiah di kampus. Asal tidak ditanggapi dengan “Esmosi”(kok seperti istilah disalah satu acara TV…maksudnya Emosi).
Persilahkan penulis untuk menjadi “provokator” dalam perdebatan wacana yang mulai muncul di Ekonomi. Hingga suatu hari nanti akan lahir sebuah Sintesa, karena penulis berharap semua mahasiswa ekonomi ikut dalam perang wacana ini. Sehingga budaya liteter yang sempat menjadi angan-angan dari seorang kawan dalam Visi dan Misi-nya saat pemilihan Ketua Himpunan dapat terwujud (tidak usah susah-susah buat Sekolah Menulis, langsung saja Aplikasikan di Mading).

Preman musiman memang meresahkan. Ibarat para Pertapa(bukan “Pertapa Genit”, sebutan Naruto kepada Gurunya>Jirayya), selama ini tak menampakkan batang hidungnya n turun gunung saat musim jamur tiba serta melahap semuanya. Maba, Panitia, bahkan Pengurus lembaga menjadi lahan aktualisasi mereka. Cacian, makian, tendangan serta pukulan adalah metode yang mereka gunakan.

Menyalahkan meraka akibat mandegnya pengkaderan selama ini a/ sebuah kesalahan tapi penulis tidak ingin menyebutnya sebagai kesalahan berpikir(mengutip dari Rekayasa Sosial). Sama seperti koment seorang kawan yang mengatakan bahwa kemalasan mahasiswa berlembaga akibat menjamurnya Mall, sehingga orang lebih senang ke Mall daripada mampir di lembaga.

Mungkin yang kawan maksud itu tidak salah, tapi kalau sampai mengatakan itu adalah penyebab utama(Mall) dan para Preman Musiman yang harus bertanggung jawab, secara pribadi tidak sepakat karena yang menjadi Penyebab utama mandegnya pengkaderan dan harus bertanggung jawab adalah Lembaga kemahasiswaan itu sendiri.

Hari ini apa yang telah dilakukan lembaga terhadap KeMa. Bahkan hari ini lembaga sudah kehilangan Barganingnya sehingga satu per satu otoritasnya dipreteli. apa coba yang di dapat saat mengikuti pengkaderan? Embel-embel keluarga mahasiswa.. Aduh sungguh memalukan, kalau ternyata hanya itu yang didapat, saya bersedia menanggalkan embel-embel tersebut kalau
itu masih melekat sama saya.

“jika mahasiswa tidak menuntut haknya,,biarlah meraka ditindas sampai mati oleh dosen korup"(Gie)

Salah satu untuk mengatasi kemandekan pengkaderan dengan menuntut kembali otoritas dari lembaga yang telah di rampas oleh birokrat...Biarkanlah mereka mengambilalih PMB dengan kebijakan 1 bulan setelah baru membolehkan lembaga untuk mengadakan pengkaderan...

tapi kawan harus menuntut kepada mereka(birokrat busuk) 1 sks dalam kurikulum, ini sebagai posisi tawar lembaga kepada maba...walaupun terasa sangat pragmatis tapi itu lebih baik daripada menjanjikan maba dekat dengan pengusaha n penguasa(aduh sungguh memalukan)...

Hal ini sudah sangat perlu dilakukan supaya lembaga tidak lagi kelimpungan saat PMB...Setelah itu lembaga harus memperbaki sistem pengkaderan dengan menutup or minimalisir ruang gerak dari oknum dan para oportunis yang menjadikan lembaga sebagai ruang aktualisasi...

menciptakan kader yang radikal adalah harga mati dari lembaga kemahasiswaan...karena lembaga kemahasiswaan adalah benteng terakhir rasionalitas untuk menghadapi kepungan kapitalis...harapan ada di tangan lembaga setelah tembok Universitas telah diruntuhkan oleh kapitalis...selamat berjuang kawan,,karena hanya yang berdarah yang berhak bicara...revolu$i

Preman Musiman yang merasa bahwa lembaga tidak memberi mereka ruang untuk bergerak menjadikan alasan untuk melakukan tindakan brutal. Penulis merasa hal itu tidaklah logis dan mengada-gada. Karena selama ini para Preman musiman tetap menjadi Pengurus lembaga, bahkan masih diberi ruang untuk tampil dengan membawakan materi. Atau kalian ingin tampuk tertinggi dalam Lembaga Kemahasiswaan Ekonomi(hehe…Sungguh tinggi cita-citamu).

Satu lagi kepada para Preman Musiman yang merasa bahwa Pengkaderan hanya milik para orang Cerdas. Penulis hanya mau bilang “Ya, iyalah”. Ini kampus loh, jadi budaya-budaya ilmiah harus terus dilakukan. Kalian pasti tau bahwa ini bukan Parkiran or pasar yang bisa dijadikan pangkalan jatah, bahkan kampus bukan Café dan Bar yang mempunyai legalisasi untuk menjadi tempat kalian minum-minum(eeeh…liat Ka eeh.. Mabok ka). Kita bersama-sama pasti mengetahui Falsafah Pelangi. Bahwa Pluralisme adalah sebuah kemutlakan. Tapi kita juga harus paham keindahan pelangi karena perbedaannya tidak keluar dari koridor yang telah ada.

Kepada seluruh pembaca, penulis ingin mencerikan sebuah kisah. “Dahulu kala ada sebuah tempat yang bernama Tanah Merah. Dimana preman sering juga meneriakkan penolakkan terhadap penindasan terhadap rakyat. Para preman juga seiring baca buku. Mereka masih sering kajian. Saat kawan-kawannya turun ke jalan dan terpaksa harus berhadapan dengan tindakan progresif aparat, mereka berdiri di barisan terdepan untuk membobol blokade aparat”.

Semoga perang Wacana akan terus berlanjut. Walau penulis akan menjadi musuh bersama dari Preman Musiman dan malaikat kesiangan. Ingat ini kampus jadi jari-jemari yang telah mengepal tidak dapat dijadikan senjata. Tapi yang menjadi senjata adalah jari-jemari yang mengoreskan tinta pena.

Hormat Penulis kepada orang telah melakukan perang wacana di Ekonomi. Penulis banyak belajar dari kalian.

Rumah Kenanganku, sehari pasca genderang perang wacana telah ditabu